FIKSI MINI : Di ujung Senja
Di ujung senja, matahari masih menampakkan dirinya. Namun matahari terbenam kali ini tidak sesempurna biasanya, bercak-bercak awan menutupi separuhnya, membuat sorotan cahaya jingga menyemburat keatas seperti sorotan lampu pijar.
Di sebuah dermaga kayu yang terpasang di sisi danau, shero mencelupkan kakinya sampai di bawah lutut kedalam air, seraya menatap detik-detik perpisahannya
dengan matahari. Menatap kosong semburat jingga itu dari balik gunung
di seberang sana. kabut putih mulai menghiasi permukaan danau, dingin segera
menyeruak ke dalam pori-porinya yang tak tertutup kain tebal.
Shero menarik nafas perlahan sambil menutup mata, lalu
menghembuskan nafasnya lelah. Dia berusaha untuk melepas keluh dan sesak di
paru-parunya. Dia ingin menangis, tapi dia seolah lupa caranya, jadinya dia
hanya bisa merengek sebal pada dirinya sendiri.
“ apa yang harus aku lakukan?”. Shero memiringkan kepalanya
dan menjatuhkannya pada bahu yang selalu ada di sampingnya. “ kenapa aku selalu
membuat masalah, aku tidak bisa mempercayai kata hatiku sendiri”. Rengeknya
lagi , masih dengan mata terpejam. Dia bisa merasakan bahu tegap nan hangat yang
selalu dia gunakan untuk bersandar.
“ kita cari tahu alasannya nanti”. Ujar suara lembut dari
pemilik bahu tegap. “ mereka hanya tidak mengerti apa yang kamu rasakan dari
sudut pandangmu”.
“ kenapa yang aku lakukan selalu salah?”. Tanya shero dengan
rengekan yang lebih keras, tapi dia tetap tidak bisa menangis.
“ tidak ada yang salah sher, semua orang memiliki perannya
masing-masing. Mungkin tuhan sedang menggunakanmu sebagai cobaan untuk orang
lain”. sahutnya kalem, diiringi senyum kecil yang tak kasat mata tapi terdengar
di telinga shero.
“ kenapa aku?”.
“ ya, karena kamu yang mampu melakukannya”. tuturnya kalem. Shero
menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air. Merasakan sensasi dingin di telapak
kakinya. “sudah, cepat pulang sana. mataharinya sudah habis”. Ujar suara renyah
itu.
Shero memanyunkan bibirnya lalu mulai membuka mata, dan
benar sang matahari sudah tinggal bercak jingga, menghilang bersama pemilik
suara renyah barusan.
Shero mendesah pelan, lagi-lagi dia berhalusinasi. Halusinasi
yang terasa nyata. Entah berapa kali sebulan terakhir semenjak shero mendatangi
tempat ini shero mengalami kejadian serupa. Makanya dia sering datang kesini, setiap sore hari untuk sunset. Lalu berbicara dengan halusinasinya. Shero
tersenyum melihat matahari yang sudah terbenam penuh meninggalkan berkas ungu,
tanpa ada perintah, air matanya jatuh begitu saja.
Comments
Post a Comment