BESTENEMY : The Most annoying people in the Rana's World is Pandu

Credit picture by : Pinterest, Angeul Cheung
“Jika Tuhan mengijinkan manusianya untuk membunuh manusia lain, maka dengan senang hati, aku akan membunuh anak laki-laki itu!” Rahang Rana mengeras, matanya melirik culas pada Pandu, cowok paling menyebalkan dalam hidupnya. Cowok itu sedang mengolok-ngoloknya di kejauhan, menjulurkan lidah dengan mata lebar, setelah memasukan kodok dalam tasnya. Rana meremas kepala kursi erat-erat. Kodok adalah makhluk yang paling dia hindari, dan anak laki-laki itu memasukan ke dalam tasnya tanpa merasa berdosa. “Sialan!”
   “Sabar Ran, Sabar.” Tama berusaha menenangkan Rana yang sudah hampir menghancurkan kepala kursi. Kayu yang sudah rapuh itu bisa saja remuk karena tenaga berlebih dari telapak tangan Rana.
   “Dia itu sengaja Tam! Sengaja!” Geram Rana. “Tuuuuh Kodoknya masih ada, cepat keluarin!” Jerit Rana. Tama yang juga takut kodok hanya melompat-lompat gelisah, antara mengambil kodok atau lari saja.
   “Itu Kodok Ran..”
“ Iya aku Tahu! Makanya aku suruh kamu ngeluarin dari Tas!!” Rana memekik, dia kadang sebal dengan tingkat kelemotan sahabatnya yang sebelas dua belas dengan hape cina.
“TAMA!AMBIL!!!” Perintah Rana saat sang kodok mulai lompat-lompat keluar tas mendekatinya.
“Biarin aja deh Ran dia keluar, nanti tinggal digusur pake sapu!!!”
“Masalahnya Kodoknya lompat ke aku!” Rana menatap ngeri Kodok yang mendekatinya. “TAMAAAAAAAA!!!”
BRuugh!
Rana terkapar dilantai, tidak sadarkan diri dengan kodok sedang melompat-lompat diatasnya. Mata Tama melebar melihat Rana yang sudah tidak bergerak.
“RANAAAAAA! Jangan tidur di situ!!!!!”
#
Rana berakhir di UKS. Dengan bantuan Nata, sang ketua kelas yang menggendongnya hingga UKS, kata Tama. Tama duduk di sebelah Rana yang sedang gemetar di ranjang UKS. Dia sudah duduk lebih dari 30 menit, namun Rana masih saja gemetar sejak sesaat setelah bangun.
“Aku nggak bisa maafin dia kali ini!” Gumam Rana dengan nada gemetar. Tama tidak tahu pasti bagaimana ekspresi Rana, namun melihat anak perempuan itu mencakar-cakar tembok, dia pasti menganggap tembok itu Pandu dan sedang kesal setengah mati. Tama memutar bola matanya.
“Ini bukan pertama kali kamu ngomong begitu.
“Pokoknya aku nggak akan maafin dia.” katanya lagi dengan suara lebih kejam dari sebelumnya.
“ Ya kamu sih Ran, pake acara masukin kecoa di sepatunya, dia pasti balas dendam ke kamu.” Tama mengingat Pandu yang juga langsung pucat begitu menginjak kecoa di sepatunya. Tama juga ingat, pandu langsung membuangnya ke tempat sampah dan membakarnya di tong. “Kalau kalian gini terus, sampai kiamat juga nggak akan ada perdamaian.
“ Aku harus balas dendam. Gumam Rana pada dirinya sendiri.
“Gitu aja terus sampai kiamat.
“Pokoknya, aku akan membuat dia kapok untuk berani ketemu apalagi ngerjain aku lagi.” Ulang Rana kali ini pada Tama. Dia memutar tubuhnya dan melihat Tama lekat-lekat. “Kalau ngeracun orang, dosa nggak?”
“Whatever lah, betewe ya…” Tama menatap langit-langit sembari berfikir, “Itu sepatunya si Pandu sayang juga dibakar, dia pulang terus pakai apa?”
“Bodo amat.
“Bener-bener sayang sekali.Tama masih memasang wajah berduka. Seolah yang dibakar pandu adalah sebuah ferarri.
Rana memilih diam. masa bodo dengan sepatu reebook yang dibakar di tong sampah oleh Pandu. Sepatu-sepatunya sendiri. Itu gara-gara Pandu, mengambil buku PR miliknya hingga Rana harus meresume buku setebal 5 centi. Buku sejarah, Mahabarata yang sama sekali tidak disukai Rana. Rana membenci pelajaran sejarah, karena kemampuannya memahami sesuatu yang tidak visual sangat butuh pemakluman.
“Terus, kita mau pulang kapan??” Tanya Tama yang satu kos dengan Rana. Dia sudah lapar, sangat lapar.
Rana menatap Tama penuh harap.
“Kodoknya udah diusir belum?”
“Udah, Nata tadi yang buang. Sahut Tama santai.
“Sungguh?”
Tama mengangkat dua jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V Suwer,Demi kodok”
“Kok demi kodok sih?”
“Bodo ah, Yuk Ran pulang.
“Bentar, lima menit lagi” Rana harus menghilangkan kepanikan, yang membuat tubuhnya dingin menggigil. Baru dia akan pulang.
#
Ran, Ayah sakit. Kamu kapan pulang?” Suara sendu yang dirindukan Rana terdengar mengiris hati. Rana seketika melonjak dari ranjang tidurnya.
“Sakit lagi Bun? Kok bisa sih? Ayah habis ngapain lagi?” cerocos Rana pada ibunya. Rumahnya berada di desa yang cukup jauh dengan kota, butuh waktu 2 jam naik motor. Karena rumahnya di desa, tidak ada SMU disana, jadi Rana bersekolah di kota dan tinggal di kamar kos yang sama dengan Tama.
“Rana pulang ya,” Pinta Rana. Lututnya sudah gemetar, dia takut terjadi yang  tidak-tidak pada ayahnya. Ayahnya memang memiliki sakit Diabetes sejak lama, namun dengan menjaga kondisi serta mengkonsumsi makanan yang sesuai anjuran dokter, kesehatannya tetap terjaga.
“Jangan Ran, Ayah sudah nggak apa-apa, kata pak mantri dia hanya kelelahan . Tapi, semisal kamu bisa pulang, tidak apa-apa, soalnya, nggak ada yang bisa jemput kamu.”
“Nggak apa-apa, pokoknya Rana akan cari cara untuk pulang, Rana mau ketemu ayah.” Tekad Rana, dia tidak akan tenang sebelum dia bertemu ayahnya.
“Yaudah, kalau bisa, akhir minggu saja pulangnya,”
“Iya bun,”
“Yaudah, jangan lupa jaga kesehatan, rajin belajar, dan sholat”
“Iya Bund”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Jantung Rana masih belum berdetak stabil, membayangkan ayahnya terbujur di ranjangnya sambil merindukannya. Rana adalah anak bungsu, perempuan satu-satunya. Semua kakak-kakaknya laki-laki dan mereka berkuliah di Malang dan Jogjakarta. Sebagai anak yang paling kecil dan dekat, Rana adalah anak kesayangan ayahnya.
Beberapa menit berikutnya, handphonenya kembali berdering. Ada nama “Telolet” di layarnya, Rana ragu untuk mengangkatnya atau tidak. Tapi, karena dia sedang tidak dalam kondisi yang baik, Rana memilih untuk tidak mengangkatnya. Telolet adalah nama yang dia berikan pada Pandu, ya, karena dia berisik.
Tidak ada hal yang bisa anak laki-laki itu lakukan selain mengganggunya, menelpon tidak jelas dan kadang hanya untuk membuat Rana kesal. Pernah di suatu siang, saat Rana tertidur pulas, Pandu menelpon.
“Woy, Ran, ngapain ?”
“Tidur”
“Oh, yaudah lanjutin”
“Jadi, kamu nelpon Cuma nanya itu?”
“Iya, bye”
Siang itu berakhir dengan Rana hampir membanting handphonennya sendiri, karena tidur siangnya sukses terganggu. Padahal, bagi Rana tidur siang adalah kewajiban yang tidak boleh dilewatkan. Untuk tetap mengkondisikan kepalanya baik-baik saja, dan mencegah stress. Tapi rasanya, selama Pandu masih hidup, tidur siang tidak membantu sama sekali.
Rana membanting tubuhnya ke ranjang lapuk yang spreinya baru diganti. Ibunya jauh-jauh datang seminggu lalu, hanya untuk mengganti Sprei. Sungguh ibu yang lur biasa.
Rana mencoba memejamkan mata meski sulit, karena pikirannya masih melayang pada Rumah. Rana rindu Ayah.
#
Hari ini, Rana memutuskan untuk tidak sekolah. Dia bolos. Dia harus pulang. Semalaman dia tidak bisa tidur kepikiran Ayah. Apapun yang terjadi dia harus bertemu dengan ayahnya. Ayahnya sudah sakit sejak dua tahun lalu, Rana benar-benar takut kalau kondisi ayah akan memburuk. Bunda juga tidak memberitahu lebih detail, semakin membuat Rana gelisah.
Rana sudah menitipkan surat sakit palsu keterangan dokter sebelah kos, pada Tama. Meski agak berat hati, Tama menyanggupinya. Untung dokter sebelah kos orangnya cukup baik dan mau mengerti kondisi Rana. “Salam buat ibu dan bapak ya Ran.” Kata Tama sebelum berangkat sekolah. Rana mengangguk.
Rana mengambil jaket di belakang pintu, mengenakannya dan memastikan dirinya siap. Rana menghela nafas pendek, sebelum akhirnya memantapkan hati untuk membuka pintu dan mencari ojek.
“Bolos ya?” Rana nyaris melonjak begitu melihat Pandu ada di depan kamar kosnya. Anyway, ini pukul 06.40 yang artinya bel masuk 5 menit lagi. Rana masih mengatur detak jantungnya yang berdegub lebih kencang, karena kaget.
“Kamu sendiri, ngapain kesini?” Tanya Rana dengan menunjukan ketidaksukaannya terhadap kehadiran Pandu.
“Nyari kamu,” Sahutnya enteng, matanya menyapu pandang penampilan Rana. “Mau kemana? Bolos ya? Sama pacar? Hayo!” Pandu menunjuk-nunjuk Rana.
“Anyway, bukan urusan kamu” Sahut Rana dengan mata menyipit. Terlalu lama menunggu Pandu pergi, Rana mengunci pintu lalu melangkah melewati Pandu.
Tangan pandu mencengkeram lengan Rana, membuat Rana nyaris terjatuh karena tidak ketidaksiapan berhenti tiba-tiba.
“Pandu! Apa-an sih?” teriak Rana tidak suka.
“Aku kesini, soalnya kemarin kamu tidak mengangkat telponku” kata Pandu datar.
“Bodo amat. Lagian, pasti nggak penting banget,” Rana memutar bola matanya. Tapi Pandu tidak segera melepas lengannya, “Sorry, aku nggak punya waktu, kenapa juga aku harus repot-repot ngangkat telepon kamu.” Rana berusaha melepaskan genggamannya yang sepertinya semakin erat.
“Mau kemana?”
“Rahasia” sahut Rana sambil berusaha melepas tangan Pandu dari pergelangan tangannya.
“Mau kemana?” Ulang Pandu. Rana menghela nafas, kesal. Sepertinya pertanyaan ini nggak akan berakhir kalau tidak dia jawab dengan benar.
“Pulang,” Sahut Rana akhirnya. “Ayah sakit.”
“Naik apa?” Tanya Pandu lagi. Entah, anak ini kesurupan apa, Rana ingin tahu, tapi tidak punya waktu untuk bertanya.
“Ojek.” Rana meniup poninya, berharap tangannya segera dilepaskan dan dia bisa nyari Ojek untuk pulang. Namun, bukanya melepaskan tangan Rana, Pandu malah menariknya.
“Hey!!” pekik Rana yang bisa membuat kucing di sebelahnya terjingkat.
“Aku anterin.”
“Emangnya kamu nggak sekolah?”
“Enggak.” Sahutnya enteng. Rana berlari kecil, kemudian melompat dengan satu kaki untuk menjitak kepala Pandu. Otomatis tangannya terlepas karena Pandu memegang kepalanya.
“Apa sih?”
“Kamu, mau aku diomelin gara-gara bolos sekolah??Huuuh?” Rana melotot. Pandu menatap Rana tidak mengerti.

Comments

Popular posts from this blog

#1 BELAJAR MENULIS : CARA MENDESKRIPSIKAN TEMPAT DAN KARAKTER PADA NOVEL

Surat Untuk Nata : HUJAN hari ini.

LET GO!