Gadis Berpayung
“ Selamat pagi Senta”. Sepasang mata bulat berbinar-binar setiap kali mengucapkan kata-kata itu. dan aku selalu membalasnya dengan mata menyipit. Kalau ada orang yang paling ingin aku hindari di dunia, itu adalah dia. Gadis bermata bulat, dengan rambut ikal pendek yang diikat sembarangan.
Dia selalu datang tepat pukul 6 pagi,
dengan baju pendek selutut berwarna putih, tas kecil dan sepatu yang sama,
setiap hari sambil membawa payung berwarna pelangi, padahal ini musim panas
yang jarang hujan. Aku sempat berfikir, kalau dia memiliki sejenis gangguan
mental. Aku rasa orang waras tidak akan melakukan apa yang sedang dia lakukan
pada orang yang tidak dikenalnya. Seperti ini misalnya, muncul di depan rumahku dan
menyapaku setiap pagi. Yang masih menjadi misteri, bagaimana dia tahu namaku?
Aku bergeser selangkah kekanan lalu
mengambil ruang kosong untuk melewatinya, Pagi ini ada ulangan fisika, aku
tidak cukup punya waktu untuk meladeni anak aneh yang lebih mirip pasien rumah
sakit jiwa. Aku mempercepat langkah kakiku, aku tidak mau konsentrasiku buyar
ketika aku belajar di dalam bus. Dari kejauhan, bus yang akan mengantarku
datang, aku mempercepat langkahku dengan berlari, berharap gadis di belakangku
tidak cukup cepat untuk mengejarku.
Hap!
Aku berhasil menapakkan kaki di atas bus
tepat ketika bus mulai melaju, meninggalkan gadis aneh itu, di halte yang sedang
menatapku kecewa di bawah payung. Sebelumnya, dia pernah mengikutiku sampai
naik bus dan cukup menggangguku dengan menempeliku seperti koala. Dan terror
ini, tentu tidak berakhir di sini.
Jovan celingukan ke belakangku, aku tau
apa yang dia cari. Anak gadis aneh itu. “ dia nggak ikut?”. Tanya Jovan masih
mencari-cari gadis berpayung, yang selalu mengikutiku sampai di sekolah, kurang
mengerikan apa coba?. Jovan adalah teman baikku, teman sebangku. Dan jujur saja
satu-satunya teman yang aku punya sekarang. Aku tidak suka bergaul, karena
menurutku punya satu teman baik sudah lebih dari cukup. Aku tidak cukup punya
banyak waktu untuk bergaul dengan yang lain, aku hanya ingin menghabiskan
waktuku untuk belajar, ujian nasional sebentar lagi, aku tidak mau mengecewakan
kedua orang tuaku dan Andara. Hatiku berdesir mengingat nama itu.
“ besok seratus harinya Andara, kamu
datang kan?”. Tanya Jovan, membuat aku kembali teringat gadis itu. Gadis manis
pemilik senyum tercantik yang aku kenal. Andara Herdyta, dia juga temanku. Aku,
dia dan Jovan adalah teman baik. Kami selalu kemana-mana bersama, Andara adalah
sosok yang ceria, menyenangkan dan selalu ada buatku. Sandaran terbaik dan
pendengar yang tak pernah bosan. Juga, pendukung yang setia.
“ lihat besok deh”. Sahutku sambil
berjalan cepat menuju kelas, sengaja menghindari Jovan. “ aku masih belum menghafalkan
rumus penerapan”.
“ Andara bakal sedih kalau kamu nggak
datang lagi, empat puluh harinya kamu sudah tidak datang, masa sekarang kamu
tidak datang lagi?”. Seloroh Jovan yang membuat jantungku seperti jatuh ke
perut mendengar kata-katanya. Aku bukan tidak mau datang, aku hanya belum
sanggup melepaskan gadis itu. Gadis yang saat ini memenuhi seluruh hidupku,
hatiku dan otakku. “ Senta,...aku juga berat melepaskan Andara, tapi
tolong,…untuk terakhir kalinya, biarkan dia pergi dengan tenang, jangan halangi
dia seperti ini”. Cerocos Jovan. Aku tahu, mataku mulai berkaca-kaca, setengah
mati aku berusaha untuk tidak menangis. Aku sudah berjanji untuk tidak akan
menangis.
“ Van, aku harus belajar, jangan ganggu
dulu, tolong”. Kataku untuk menghentikan Jovan yang terus nyerocos. Aku membuka
buku fisika tebal yang penuh dengan coretan tangan Andara. “baiklah,..”. sahut
Jovan pasrah. “anyway,.kamu sadar nggak sih? Kalau anak perempuan itu mirip
Andara?”. Tanya Jovan yang berhasil mengalihkan perhatianku dari gambar
kartunku yang di gambar oleh Andara.
“ Van, jangan ganggu konsentrasiku,
tolong”. Pintaku. Aku tidak berfikir sama dengan Jovan. Andara bukan gadis
sinting seperti anak perempuan itu.
“ oke baiklah,…”. Sahut Jovan akhirnya.
Jovan membuat konsentrasiku sukses
pecah. Pikiranku jadi melayang pada gambar-gambar di tembok rumah yang digambar
gadis itu dengan lancangnya. Beberapa kali aku mendapatinya sedang
mencoret-coret tembok depan rumahku dan aku menghardiknya dengan kasar.
Bukannya pergi, dia malah tersenyum. Gaya berjalannya, yang sedikit
melompat-lompat sambil bersenandung, mirip seperti yang biasa dilakukan oleh
Andara. Pernah di suatu pagi, hujan deras. Aku pikir dia tidak akan datang, dia
malah menari di bawah hujan dengan payungnya, sama seperti yang dilakukan
Andara, dia sangat menyukai hujan. Aku segera menggeleng, aku tidak mau
menyamakan Andara dengan gadis aneh itu.
Aku menyipitkan mataku menatap gerbang,
lagi-lagi gadis itu ada di sana. Sudah ku bilang teror ini tidak akan berhenti
sampai halte, dan sudah aku bilang dia sangat mengerikan bukan?. Dia sedang
duduk di lantai dengan cueknya sambil memegang payung, tidak peduli rok dari
baju putih yang dia kenakan terkena lumpur. Aku mendengus sebal. Sampai kapan
gadis itu akan terus melakukan hal ini. Menerorku seperti ini? Sampai detik ini
aku tidak tahu alasan mengapa dia membuntutiku seperti ini.
aku ingin mengabaikannya saja, tapi
pikiranku berubah begitu melihat beberapa anak mengganggunya. Wajahnya terlihat
ketakutan ,tangannya memeluk payungnya erat. Kali ini aku mendengus sebal pada
diriku sendiri, haruskah aku peduli tentang ini?
“ sorry, dia adikku”. Kataku di belakang
empat anak laki-laki yang sedang mengganggunya. Aku menghela nafas pendek.
Menyesal keputusanku untuk mendatangi gadis ini. Aku yakin setelah ini, dia
akan memelukku gembira. Empat anak laki-laki itu tampak enggan padaku karena
aku kakak kelas, lalu pergi setelah minta maaf. Benar, gadis itu menatapku
dengan mata berkaca-kaca.
“ tolong, jangan pernah datang kesini
lagi, jangan menggangguku,…mungkin kamu pikir, kamu mengenalku, tapi sungguh
aku tidak mengenalmu, sepertinya kamu salah orang”. Kataku panjang lebar,
sepertinya aku harus mengatakan ini agar dia mau mendengarku dengan baik. Dia
tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Oh please, aku benci tatapan itu. Dia
mengingatkanku pada tatapan Andara, ketika aku mengabulkan keinginannya.
“ terima kasih, senta…”. Ujarnya yang
lebih terdengar seperti hembusan udara, tanganya meremas-remas payung. “ aku
suka kamu”. Sambungnya. Aku mengerutkan dahi, tidak mengerti. Seorang gadis
asing yang tiba-tiba menyatakan ‘suka’ padaku.
“ sorry,…”. Lirihku pelan. Aku tidak mau
repot-repot berfikir untuk menjaga perasaannya. “ mulai sekarang jangan ganggu
aku lagi!, kamu aku tolak”. Hardikku. Aku segera melangkahkan kakiku menjauh,
dan gadis itu berusaha membuntutiku. Aku mempercepat langkah kakiku, kemudian
berlari. Berharap, besok aku tidak melihatnya lagi.
“ anak yang kemarin bawa payung nggak
datang?”. Tanya mama, dia sedang mengintip jendela. Aku tidak tahu, mengapa dia
menanyakan gadis itu.
“ mana aku tahu ma”. Aku menghendikan
bahu dan bersiap mengenakan mantel hujan, karena di luar sedang hujan deras. Mama
menatapku penuh arti. “ ada apa?”. Tanyaku heran dengan tatapan mama. Mama
menoleh keluar dan aku bergantian.
“ kemarin, orang tuanya kesini”. Tutur
mama hati-hati, ada kecemasan dari nada bicaranya. Aku mengerutkan dahi. Mama
menghela nafas sebelum bercerita. Gadis itu bernama Tara. Dia kecelakaan tiga
bulan lalu, dia mengalami pendarahan parah. Namun, gadis itu selamat berkat
transplantasi sum-sum tulang belakang. Aku mendengarkan cerita mama dengan
seksama. “…dan pendonor sum-sum tulang belakang itu adalah Andara, karena
operasi itu, gadis itu jadi hilang ingatan, dan orang yang selalu dia sebut
adalah kamu…Senta”. Jantungku sepertinya sudah jatuh ke perut. Lututku gemetar.
“ hah? Apa?”. Aku melongo tak percaya.
“ makanya kemarin, orang tuanya datang
untuk menjelaskan, agar kita tidak salah paham,…dan sekarang dia dalam masa penyembuhan”.
Imbuh mama. Entahlah, aku sepertinya kehilangan isi kepalaku. Otakku terasa
hampa. Aku berlari ke depan pintu, melihat coretan-coretan yang pernah digambar
gadis itu di tembok. Potongan ingatan tentang Andara dan gadis bernama Tara
bergantian muncul di kepalaku. Gambar-gambar
itu menunjukan hal-hal yang aku sukai dan gambar-gambar wajahku dalam
berbagai ekspresi . Sekarang aku mulai tahu, bagaimana dia tahu namaku dan tahu
alamatku, karena Andara hidup dalam tubuh gadis itu. Aku tersenyum di bawah
Hujan. Dan tidak sabar ingin bertemu dengan gadis bernama tara.
Comments
Post a Comment