#3 BESTENEMY : Where are you?
Rana salah sudah berfikir kalau Pandu memiliki sisi lain,
selain sisi menyebalkan dan selalu membuatnya marah. Rana salah sudah sempat
berfikir untuk mencabut kata-katanya tentang dia tidak akan membunuh Pandu,
jika Tuhan mengijinkan umatnya membunuh sesama. Rana akan repot jika Pandu
masih di sekitarnya.
Rana tidak akan pernah lupa, ketika dia gagal ikut Audisi
menyanyi karena Rana dikunci oleh Pandu di kamar mandi Osis. Dia membuat Rana
meraung-raung sambil kelaparan di kamar mandi. Sepertinya, Bunda harusnya
bilang ke pandu bukan untuk menjaga Rana, tapi untuk menjauh dari Rana dan
tidak mengganggunya.
Kalau saja tadi Tama tidak membantunya menenangkan diri,
Rana pasti bikin masalah lagi untuk Pandu. Untung ada Tama yang bilang, ‘Kamu
harus berterima kasih pada Pandu, udah nganterin kamu pulang, seenggaknya jangan
balas dendam untuk saat ini.’ untuk pertama kalinya kawannya itu bicara dengan
sangat bijak. Dan Rana mau mendengarkan.
Rana berusaha memfokuskan diri pada soal fisika yang
gagal dia kerjakan sejak setengah jam yang lalu. Pikirannya masih berputar-putar
soal Pandu yang menyebalkan, Pandu yang tenang memboncengnya dan Pandu yang sudah
ngomong asal. Tepat ketika, Rana berhasil memfokuskan diri, handphonenya
berdering.
Rana melirik Handphonenya, lagi-lagi ‘Telolet’. Rana baru
sadar, selain ibunya, ‘Telolet’ yang membuat handphonennya berbunyi. Tama
paling hanya chat di Whatsapp, kalau nggak datang langsung ke
kamarnya. Rana masih ragu perlu mengangkatnya atau tidak. Tapi, mengingat
terakhir kali Pandu tiba-tiba muncul di depan kamar Kos-nya karena dia tidak
mengangkat telepon, Rana memutuskan untuk mengangkatnya saja.
“ehem,ehem...Ya Hallo,” Sapa Rana malas dengan suara dibuat beda dengan aslinya. “Maaf, si Rana nggak ada,
ini Nengsih pembantunya.” Rana berharap, Pandu percaya dan dia akan segera
menutup teleponnya.
“Hi,Nengsih,”
Balas Pandu. Rana memutar bola matanya, gila nih cowok bego apa ya. Mana ada
pembantu di Kosan?. “Si Rana punya Jaket
nggak?”
“Punya.” Rana mulai bingung, untuk apa si telolet
menanyakan jaket?
“Bawain sini gih,
kasihan si Rana kedinginan di depan kosannya.”
“Buat apa ya?” Tanya Rana, tetapi dia sudah tidak
terdengar suara. Rana yang tadi sebal, berubah penasaran. Apa maksdunya si Rana
kedingingan di depan kosan?. Anak itu pasti ngaco. Keingin-tahuan selalu lebih
tinggi dari harga diri, Rana akhirnya keluar membawa jaket. Entah apalagi yang
dilakukan Pandu untuk mengerjainnya? Dan sialnya, ngapain juga dia keluar? Bawa
jaket lagi? Tapi, Rana sungguh penasaran.
Rana celingukan di depan gerbang, dia menemukan Pandu di
sana. Sedang memeluk lengan, duduk di atas motor.
“Mau ngapain?”
“Sini jaketnya.” Pinta Pandu, dengan nurut Rana
memberikannya. “Tangan!”
“Tangan?” Rana sungguh tidak mengerti. Tapi Pandu segera
membuatnya mengerti, begitu dia menarik tangan Rana dan memasukannya pada
lubang lengan jaket milik Rana. Dengan cepat, Pandu sudah mengenakannya pada
Rana.
“Apaan sih??” Sentak Rana. Sejujurnya, dia bukan
berteriak karena kelakukan aneh Pandu, tapi karena detak aneh yang barusan
terjadi. “Ngapain pake Jaket? Ini cuaca lagi panas? Kamu sakit ya??” Sungut
Rana sebal. Malam ini angin memang berhembus cukup kencang, tapi dia nggak akan
kemana-mana juga.
“Ikut aku yuk.” Ajak Pandu. Dia memakaikan helm pada
Rana, tanpa menunggu persetujuan.
“Kemana???” Mata Rana melebar.
“Ke suatu tempat.” Pandu tersenyum. Rana terhipnotis
lagi, dengan senyum langka yang seperti itu. Senyum sesungguhnya.
#
Rana menyesali dia terlalu mudah terhipnotis, bahkan oleh
senyum begitu doang. Huuft. Rana memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak
pergi jauh-jauh, dia pasti bisa sangat mudah terhipnotis orang-orang jahat. Mengingat
para penipu berkedok hipnotis berkeliaran dimana-mana.
Sekarang dia sudah ada di boncengan Pandu, mengapa tadi
kok dia mau kalau bukan dihipnotis? Kalau Nata yang ngajak, Rana nggak akan
seheran ini.
“Kemana sih Ndu?” Pekik Rana, tapi Pandu tidak menyahut.
Rana memperhatikan jalanan yang mulai keluar dari wilayah
kota. Tidak ada lagi lampu jalan. Hanya ada sorot lampu dari kendaraan yang
masih berlalu lalang dan cahaya lampu dari rumah-rumah kecil. Jika kondisi
normal, Rana akan berteriak-teriak dan mengatakan ‘Tolong, aku diculik!” Tapi, entah
mengapa dia percaya saja pada Pandu untuk saat ini. Dengan dasar, mereka sudah
kelas tiga, Pandu tidak akan berani macam-macam jika ingin lulus sekolah. Bener
kan?
Motor Pandu berhenti pada puncak bukit, di parkiran
warung kecil. Lalu mencopot helm-nya. Rana mengamati sekelilingnya, pemandangan
kota dari bukit dan satu warung kopi. Ternyata ada tempat sekeren ini di
kotanya? Rana berdecak dalam hati. Keren.
“Sini, helmnya.” Pandu sudah hendak mencopot clip Helm
Rana, tapi Rana menghentikannya, membuat tangan Pandu berhenti pada clip di
bawah tangan Rana yang melarang untuk dicopot. Rana menatap Pandu
sungguh-sungguh.
“Kamu nggak ada niat memutilasi aku atau apa kan Ndu?
Kita udah kelas tiga, kamu nggak akan macem-macem kan Ndu? Kamu pasti masih
dendam gara-gara kecoa di sepatu Reebook
kamu itu kan Ndu?” Tanya Rana dengan lugu.
“Pfft.” Pandu menahan diri untuk tidak tertawa, tapi
akhirnya tertawa juga. Satu hal lagi, keajaiban dunia yang baru dilihat Rana :
Pandu tertawa. Bukan tertawa jahil seperti biasa, tapi Tawa sesungguhnya ketika
seseorang sedang senang. Pandu terkesiap begitu sadar Rana sedang mengamatinya
tertawa.
“Sebelum aku mutilasi, mau kopi nggak??” Tanya Pandu.
Mata Rana melebar. “Becanda kali, serius amat.” Pandu menutup kaca Helm, lalu
tertawa lagi.
Rana yang tidak mengerti apa yang lucu turun dari motor.
Dan masih menolak mencopot helmnya. Pandu sudah berjalan duluan ke sebuah
bangku yang menghadap ke pemandangan kota dan laut, Rana mengikutinya dengan sedikit ragu.
“Anyways, meskipun di satu sisi aku percaya kamu nggak
akan memutilasiku, sisi ku lainnya percaya kalau kamu juga akan melakukan
hal-hal lain yang membuatku marah, seperti biasa.” Rana menatap Pandu dengan
mata menyipit.
“Mau Mie nggak?” Tawar Pandu, mengabaikan protesan Rana.
“Mau.” Sahut Rana keceplosan, menjawab kelewat cepat,
seharusnya dia pura-pura nggak mau atau apa. “Ummm..” Dia tidak tahu bagaimana
memperbaiki kata-katanya. Pandu tersenyum lagi lalu masuk ke warung memesan
sesuatu. Rana tidak tahu, mengapa dia begitu mudah terhipnotis senyum Pandu,
dia bahkan ingin melihatnya lagi dan lagi, sehingga tanpa sadar dia berlaku
bodoh.
Pandu kembali dengan dua gelas Milo Panas.
“Nih,” Pandu mengulurkan satu untuk Rana,” Tanpa sianida,
next kalau kesini lagi baru pake Sianida”
“Emang akan ada ‘Next’?” Sindir Rana.
“Siapa tahu?” Pandu menghendikan bahu.
Pelan-pelan Rana menyesap Milo yang langsung
menghangatkan rongga dadanya. Dengan suasanan dingin, di puncak bukit dengan
pemandangan lampu-lampu kota , Milo hangat ini terasa seratus kali lebih enak.
“Kamu kok tahu ada tempat oke di sini?” Tanya Rana
sembari sesekali menyesap Milo-nya.
“Tahulah, kalau lagi nyari inspirasi aku sering
jalan-jalan.”
“Inspirasi? Emang kamu penulis buku?” Rana merasa
penasaran, seperti menemukan bagian lain dari benua bernama Pandu.
“Penulis lagu?” Pandu seperti bertanya pada dirinya
sendiri. Rana mengangguk mengerti. Rana mulai merasa nyaman duduk di tempat
asing bersama seseorang yang satu jam lalu ingin dia tumpas dari muka Bumi.
“Mau denger?” Tawar Pandu.
“Nggak.” Sahut Rana cepat. Ini pasti pertanyaan jebakan.
“Yaudah.”
“By the way, apa visi dan misi kamu ngajak aku kesini?”
Akhirnya Rana bertanya juga, dibanding lagu ciptaan Pandu, Rana lebih penasaran
mengapa Pandu tiba-tiba baik mengajaknya ke tempat ini dengan traktiran Mie dan
Milo. Rana menatap Pandu curiga. Pandu pernah memberinya kue ulang tahun, namun
setelah itu, Rana tahu kalau kue yang diberikan Pandu kadaluarsa. Seketika Rana
muntah-muntah.
“Aku kayaknya perlu memastikan, kalau yang kamu pesen
nggak kadaluarsa.” Rana hendak bangkit namun tangannya sudah dicegah oleh
Pandu. Pandu tertawa.
“Rana-rana,Kue ulang tahun itu nggak beneran kadaluarsa
kali. Aku yang nyuruh anak-anak buat bilang kalau itu Kadaluarsa.” Pandu
tertawa lagi mengingat wajah Rana yang saat itu ketakutan kalau dia akan mati,
gara-gara kue Kadaluarsa.
“Kamu tuh kenapa sih ndu, suka iseng? Kayaknya bahagia
banget gitu bikin aku sengsara.”
“Soalnya kamu lucu sih.”
“Lucuuuu?” Mata Rana melebar. Apanya yang lebih lucu dari
anak perempuan menangis meraung-raung di kamar mandi? Apa yang lebih lucu dari
anak perempuan hampir tewas gegara kue ulang tahun kadaluarsa di hari ulang
tahunnya? Dan anak perempuan yang pingsan gara-gara kodok?
Pandu menatap Rana, lalu tersenyum. Lagi-lagi Rana
terhipnotis. Ada bintang di bola mata Pandu, ada sihir di senyumnya. Membuat
jantung Rana berdegub tidak karuan.
“Makanya, aku ngajak kamu kesini.”
“Mau ngerjain akuu lagi? Biar kamu bisa lihat anak
perempuan yang lucu karena kejang-kejang setelah minum Milo?”
“Iya, ngerjain kamu. Biar aku bisa lihat anak perempuan
yang lucu karena sedang deg-degan.” Senyum jahil itu muncul lagi. Rana
mematung sejenak, lalu memukul bahu
Pandu sekencang-kencangnya.
“Nggak Lucu.” Rana berusaha memperbaiki posisi duduknya.
Tepat setelahnya, Mie mereka datang, jadi Rana bisa pura-pura sibuk makan Mie.
Meskipun, tubuhnya tidak bisa diajak kompromi, jantungnya berdetak tidak sesuai
kerjanya.
“Ran?”
“Apa??” Sahut Rana galak.
“Ini CD lagu ciptaanku, kali penasaran boleh diputer.”
Pandu menyodorkan kotak CD pada Rana yang sedang mengunyah Mie. Ragu-ragu, Rana
menerimanya. “Udah terima!, nanti nyesel kalau kamu tolak, sebelum lagunya
booming di Itunes. Bersyukurlah kamu
menjadi pendengar pertama.”
Mata Rana menyipit, “Iyuuuh.” Tangannya menerima CD dan
dimasukan ke Jaket dan melanjutkan makan tanpa suara, karena debaran di dadanya
mulai mendominasi dirinya. Rana berusaha sefokus mungkin mengunyah Mie dan
menelannya, dia takut gara-gara terlalu gugup dia lupa caranya mengunyah.
#
Rana menggeleng-geleng kepala saat sedang sikat gigi. Dia
mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Saat dia bangun di depan
gerbang kosan, tangannya melingkar dipinggang Pandu, dia tidak ketiduran dan
memeluk cowok itu kan? Rana kembali geleng-geleng. Seingatnya, dia berpegangan
pada ujung jaket Pandu, nggak mungkin dia tanpa sadar memeluk Pandu kan? Rana
geleng-geleng lagi.
Rana menatap CD yang diberi Pandu sebentar, lalu
memasukannya ke dalam laci agar dia tidak mengingat yang tidak-tidak.
Sepertinya, ada yang perlu Rana jelaskan pada Pandu agar cowok itu tidak salah
paham. Rana memencet nomor Pandu, tapi tidak ada yang mengangkatnya. Rana
memutuskan, dia bicara langsung saja di sekolah.
“Pandu nggak masuk.” Sentak Brenda begitu Rana berdiri di
kelas depan kelas Pandu. Mata Rana melebar.
“Kenapa nggak masuk?” tanya Rana ingin tahu.
“Mana aku tahu, capek kali berurusan sama kamu.” Brenda
meniup-niup ujung kuku-nya yang tidak kenapa-napa. Rana yakin cat kukunya juga
sudah kering.
“Atau capek ngadepin cewek genit kayak kamu?” Rana
mengejek Brenda sebelum pergi. Membiarkan Brenda memasang wajah nenek lampir menahan sebal di belakangnya.
di beberapa langkah selanjutnya, Rana masih penasaran, Kemana
anak itu?
Comments
Post a Comment