#2 BESTENEMY : BESTFRIEND (?)
(Lanjutan)
Akhirnya Pandu ganti Baju dan tetap memaksa mengantarkan
Rana. Gila aja, mereka harus berhenti di Distro hanya untuk membeli baju ganti
Pandu. Tuh cowok memang super konsumtif. Nggak kaget sih, dia bisa bakar Reebook tanpa mikir, dan sekarang sudah
ganti Yeezzy, yang diyakini Rana
Orisinil. Seketika, Rana merasa iri dengan pandu yang sangat mudah. Apapun yang
dia inginkan, bisa dia dapatkan tanpa usaha panjang. Berbeda dengan dirinya,
yang jika menginginkan sepatu, dia harus nabung dulu, karena orang tuanya sudah cukup
terbebani dengan biaya pendidikannya dan kakak-kakaknya. Meski, kakak-kakaknya
sudah bisa membiayai kuliah mereka sendiri dengan kerja ‘part time’. Tapi,
pengobatan ayah juga butuh biaya.
“Pokoknya, kamu nggak boleh keceplosan kalau kita bolos
sekolah.” Rana berbicara sedikit berbisik agar tidak terdengar siapapun, meski
gerbang dengan pintu rumahnya berjarak agak jauh.
Pandu mengangguk mengerti. Mereka sampai di rumah Rana
yang cukup pelosok. Pandu menatap sekeliling yang berbeda dengan lingkungannya.
Disini begitu tenang, dan damai. Tidak ada suara berisik selain suara ayam di
sekitar kandangnya.
“Kenapa? Rumahku kampungan ya?” Sindir Rana, begitu
mengajak Pandu memasuki pekarangan rumah.
“Nggak, nggak nyangka ada tempat sekeren ini di
Banyuwangi. Selama ini aku cuma tahu kota aja, jadi ya belum pernah tahu ada
tempat ‘se-hijau’ ini.” Pandu tersenyum lembut. Dua hal yang tidak bisa
dipercaya Rana begitu saja hari ini, pertama, Pandu tiba-tiba mirip malaikat
yang mau mengantarnya pulang dan ikut bolos. Kedua, anak laki-laki itu tersenyum.
Rana berdoa, dia tidak sedang bermimpi. Karena, cukup melelahkan jika dia harus
melakukan perjalanan dua kali.
Memang rumah Rana berada di kawasan perkebunan. Masih
banyak pohon-pohon akasia besar di sini dan perkebunan cengkeh yang aromanya
cukup menenangkan. Belum lagi tanaman sayu-sayuran di pekarangan rumah Rana
yang ditanam di tanah, bukan di polibek.
“Assalamualaikum” Rana mengetuk pintu. Terdengar suara
derap langkah terburu-buru dari dalam, Rana yakin itu kaki ibunya.
“Waalaikumsalam” Sahut dari dalam. Beberapa detik
berikutnya, pintu terbuka. Wajah ibu yang
terlihat lelah menyambut Rana setengah senang, setengah bingung.
“Loh, kok sudah pulang? Sekolah kamu gimana?” tanya
Bunda, menyuruh Rana masuk dan Pandu. Rana mencium tangan ibunya. Dia melirik
pandu, dan menyuruhnya melakukan hal sama. Mengerti yang dimaksud Rana, Pandu
langsung mencium tangan ibu Rana.
“Libur, katanya gurunya ada rapat.” Dusta Rana sambil
menggosok ujung hidungnya.
“Lah, dia siapa Ran?” pandangan ibu beralih pada Pandu.
“OJEK”
“Teman sekolah” Sahut Pandu dan Rana bersama-sama.
Ibu tertawa kecil, “Kamu Ran, masa temen dibilang Ojek”
Rana melirik Pandu, dan menunjukan dia tidak menyesali
kata-katanya. Rana langsung buru-buru masuk kamar ayahnya, dia yakin sosok yang
dirindukan ada di sana.
“Duduk dulu, siapa namanya?” Tanya ibu pada Pandu. Pandu
nurut lalu duduk.
“Pandu bu.” Sahutnya berusaha sopan. Dia belum pernah
bertamu ke rumah siapapun sebelumnya, jadi Pandu benar-benar merasa kaku.
“Yaudah, tunggu sini, habis ini makan dulu, kalian pasti
belum sarapan.”
“Iya, makasih.” Pandu mengangguk dan mengamati ibu Rana
yang pamit ke kamar, dimana Rana masuk tadi.
Pandu, mengamati sekeliling rumah Rana yang bercat putih.
Rumahnya minimalis dan menenangkan. Meski kecil, rumah ini terkesan hangat dan
damai. Berbeda dengan kondisi rumahnya yang sebaliknya.
Terpajang foto-foto Rana bersama 2 laki-laki yang lebih
besar darinya. Pandu meyakini mereka kakak Rana. Dan seorang laki-laki tegas
dan berotot di figura lain, itu ayah Rana. Dan foto gadis kecil, dengan wajah
cemberut itu pasti Rana. Pandu seketika teringat ketika Rana sedang cemberut karena
dia kerjai. Pandu tertawa kecil.
“Nggak usah ngeledek.” Suara Rana dingin, di belakang
Pandu, membuat bulu kuduk Pandu merinding.
“Sorry.” Pandu belum bisa menghentikan tawanya.
“Makan dulu, Bunda udah nyiapin.” Rana menunjuk arah
dapur dengan dagunya.
“Anyway, kamar kamu sebelah mana Ran?” Tanya Pandu pada
Rana yang sudah berjalan mendahuluinya.
“Rahasia.”
#
Rana cukup lega kondisi ayahnya sudah baik-baik saja.
Penglihatan ayahnya mulai berkurang sedikit-sedikit sejak Dia divonis Diabetes.
Kemarin, dia jatuh di kebun cabe. Makanya tubuhnya melemah, suhu tubuhnya naik.
Sekarang Ayah sudah baik, suhu tubuhnya sudah turun. Hanya butuh lebih banyak
istirahat.
“Rana pamit ya Bun, kayaknya Rana bakal sering-sering
pulang,” Rana menatap ibunya, “Atau Rana pulang aja ya, jadi sekolah bolak
balik naik motor aja. Biar Rana bisa jagain Ayah.” Rana tidak bisa menahan bulir
di sudut matanya. Ibunya tersenyum dan menyeka air mata yang jatuh ke pipi
Rana.
“Jangan, lagipula kamu kan sudah kelas 3, habis ini
lulus. Mending belajar yang Rajin, doain Ayah biar cepet sembuh setiap sholat.”
Nasihat Bunda sembari membetulkan poni anak perempuannya. Rana mengangguk tanpa
berkata-kata. “Yaudah, sana keburu malam. Bahaya, jalan kalau gelap banyak
begal.”
Rana mengangguk kemudian mencium tangan ibunya. Pandu
juga melakukan hal yang sama.
“Saya pamit juga bu.” Kata Pandu.
Ibu Nara mengangguk. “Nak Pandu,” Panggilnya lembut,
Pandu menoleh. “Tolong jaga Rana ya.” Katanya menatap Pandu sungguh-sungguh.
Pandu mengangguk kaku, sedangkan Rana sudah keselek air mata.
“Bunda jangan ngomong macem-macem.” Rana melirik Pandu
yang tersenyum pasrah. Rana naik ke boncengan Pandu. “Rana bisa jaga diri kok.”
“Hati-hati ya.” Seperti tidak mau mendengar kata-kata
Rana, ibunya meminta hati-hati pada Pandu. Pandu mengangguk, lalu melajukan
motornya.
“Jangan dengerin Bunda, jadi biasa aja.” Gumam Rana pada
Pandu, saat mereka sudah jauh dari rumah.
“Sudah terlanjur.” Sahut Pandu.
“Terlanjur apa??”
“Denger.”
Suasanan berubah hening.
Perjalanan melewati hutan di bawah mendung, terasa lebih lambat tiba-tiba untuk
mereka berdua.#
Akhirnya Pandu ganti Baju dan tetap memaksa mengantarkan
Rana. Gila aja, mereka harus berhenti di Distro hanya untuk membeli baju ganti
Pandu. Tuh cowok memang super konsumtif. Nggak kaget sih, dia bisa bakar Reebook tanpa mikir, dan sekarang sudah
ganti Yeezy, yang diyakini Rana
Orisinil. Seketika, Rana merasa iri dengan pandu yang sangat mudah. Apapun yang
dia inginkan, bisa dia dapatkan tanpa usaha panjang. Berbeda dengan dirinya,
yang jika menginginkan sepatu dia harus nabung, karena orang tuanya sudah cukup
terbebani dengan biaya pendidikannya dan kakak-kakaknya. Meski, kakak-kakaknya
sudah bisa membiayai kuliah mereka sendiri dengan kerja ‘part time’. Tapi,
pengobatan ayah juga butuh biaya.
“Pokoknya, kamu nggak boleh keceplosan kalau kita bolos
sekolah.” Rana berbicara sedikit berbisik agar tidak terdengar siapapun, meski
gerbang dengan pintu rumahnya berjarak agak jauh.
Pandu mengangguk mengerti. Mereka sampai di rumah Rana
yang cukup pelosok. Pandu menatap sekeliling yang berbeda dengan lingkungannya.
Disini begitu tenang, dan damai. Tidak ada suara berisik selain suara ayam di
sekitar kandangnya.
“Kenapa? Rumahku kampungan ya?” Sindir Rana, begitu
mengajak Pandu memasuki pekarangan rumah.
“Nggak, nggak nyangka ada tempat sekeren ini di
Banyuwangi. Selama ini aku cuma tahu kota aja, jadi ya belum pernah tahu ada
tempat ‘se-hijau’ ini.” Pandu tersenyum lembut. Dua hal yang tidak bisa
dipercaya Rana begitu saja hari ini, pertama, Pandu tiba-tiba mirip malaikat
yang mau mengantarnya pulang dan ikut bolos. Kedua, anak laki-laki itu tersenyum.
Rana berdoa, dia tidak sedang bermimpi. Karena, cukup melelahkan jika dia harus
melakukan perjalanan dua kali.
Memang rumah Rana berada di kawasan perkebunan. Masih
banyak pohon-pohon akasia besar di sini dan perkebunan cengkeh yang aromanya
cukup menenangkan. Belum lagi tanaman sayu-sayuran di pekarangan rumah Rana
yang ditanam di tanah, bukan di polibek.
“Assalamualaikum” Rana mengetuk pintu. Terdengar suara
derap langkah terburu-buru dari dalam, Rana yakin itu kaki ibunya.
“Waalaikumsalam” Sahut dari dalam. Beberapa detik
berikutnya, pintu terbuka. Wajah ibu yang
terlihat lelah menyambut Rana setengah senang, setengah bingung.
“Loh, kok sudah pulang? Sekolah kamu gimana?” tanya
Bunda, menyuruh Rana masuk dan Pandu. Rana mencium tangan ibunya. Dia melirik
pandu, dan menyuruhnya melakukan hal sama. Mengerti yang dimaksud Rana, Pandu
langsung mencium tangan ibu Rana.
“Libur, katanya gurunya ada rapat.” Dusta Rana sambil
menggosok ujung hidungnya.
“Lah, dia siapa Ran?” pandangan ibu beralih pada Pandu.
“OJEK”
“Teman sekolah” Sahut Pandu dan Rana bersama-sama.
Ibu tertawa kecil, “Kamu Ran, masa temen dibilang Ojek”
Rana melirik Pandu, dan menunjukan dia tidak menyesali
kata-katanya. Rana langsung buru-buru masuk kamar ayahnya, dia yakin sosok yang
dirindukan ada di sana.
“Duduk dulu, siapa namanya?” Tanya ibu pada Pandu. Pandu
nurut lalu duduk.
“Pandu bu.” Sahutnya berusaha sopan. Dia belum pernah
bertamu ke rumah siapapun sebelumnya, jadi Pandu benar-benar merasa kaku.
“Yaudah, tunggu sini, habis ini makan dulu, kalian pasti
belum sarapan.”
“Iya, makasih.” Pandu mengangguk dan mengamati ibu Rana
yang pamit ke kamar, dimana Rana masuk tadi.
Pandu, mengamati sekeliling rumah Rana yang bercat putih.
Rumahnya minimalis dan menenangkan. Meski kecil, rumah ini terkesan hangat dan
damai. Berbeda dengan kondisi rumahnya yang sebaliknya.
Terpajang foto-foto Rana bersama 2 laki-laki yang lebih
besar darinya. Pandu meyakini mereka kakak Rana. Dan seorang laki-laki tegas
dan berotot di figura lain, itu ayah Rana. Dan foto gadis kecil, dengan wajah
cemberut itu pasti Rana. Pandu seketika teringat ketika Rana sedang cemberut karena
dia kerjai. Pandu tertawa kecil.
“Nggak usah ngeledek.” Suara Rana dingin, di belakang
Pandu, membuat bulu kuduk Pandu merinding.
“Sorry.” Pandu belum bisa menghentikan tawanya.
“Makan dulu, Bunda udah nyiapin.” Rana menunjuk arah
dapur dengan dagunya.
“Anyway, kamar kamu sebelah mana Ran?” Tanya Pandu pada
Rana yang sudah berjalan mendahuluinya.
“Rahasia.”
#
Rana cukup lega kondisi ayahnya sudah baik-baik saja.
Penglihatan ayahnya mulai berkurang sedikit-sedikit sejak Dia divonis Diabetes.
Kemarin, dia jatuh di kebun cabe. Makanya tubuhnya melemah, suhu tubuhnya naik.
Sekarang Ayah sudah baik, suhu tubuhnya sudah turun. Hanya butuh lebih banyak
istirahat.
“Rana pamit ya Bun, kayaknya Rana bakal sering-sering
pulang,” Rana menatap ibunya, “Atau Rana pulang aja ya, jadi sekolah bolak
balik naik motor aja. Biar Rana bisa jagain Ayah.” Rana tidak bisa menahan bulir
di sudut matanya. Ibunya tersenyum dan menyeka air mata yang jatuh ke pipi
Rana.
“Jangan, lagipula kamu kan sudah kelas 3, habis ini
lulus. Mending belajar yang Rajin, doain Ayah biar cepet sembuh setiap sholat.”
Nasihat Bunda sembari membetulkan poni anak perempuannya. Rana mengangguk tanpa
berkata-kata. “Yaudah, sana keburu malam. Bahaya, jalan kalau gelap banyak
begal.”
Rana mengangguk kemudian mencium tangan ibunya. Pandu
juga melakukan hal yang sama.
“Saya pamit juga bu.” Kata Pandu.
Ibu Nara mengangguk. “Nak Pandu,” Panggilnya lembut,
Pandu menoleh. “Tolong jaga Rana ya.” Katanya menatap Pandu sungguh-sungguh.
Pandu mengangguk kaku, sedangkan Rana sudah keselek air mata.
“Bunda jangan ngomong macem-macem.” Rana melirik Pandu
yang tersenyum pasrah. Rana naik ke boncengan Pandu. “Rana bisa jaga diri kok.”
“Hati-hati ya.” Seperti tidak mau mendengar kata-kata
Rana, ibunya meminta hati-hati pada Pandu. Pandu mengangguk, lalu melajukan
motornya.
“Jangan dengerin Bunda, jadi biasa aja.” Gumam Rana pada
Pandu, saat mereka sudah jauh dari rumah.
“Sudah terlanjur.” Sahut Pandu.
“Terlanjur apa??”
“Denger.”
Suasanan berubah hening. Perjalanan melewati hutan di
bawah mendung, terasa lebih lambat tiba-tiba untuk mereka berdua.
#
Rana belum sempat berterimakasih pada Pandu kemarin.
Karena Rana terlalu gengsi untuk melakukannya. Dia membiarkan Pandu pulang
dengan meninggalkan senyum jahilnya. Berbeda dengan senyum ‘sungguhan’ yang dia
temukan pertama kali saat di rumahnya. Anak itu pasti berulah lagi.
Rana ingin mengucapkannya sekarang, jadi dia memutuskan
untuk mencari Pandu di kelasnya. Bukan hanya Rana yang heran dia mencari Pandu,
tapi juga teman-teman di sekitar mereka. Tapi, Rana ‘Bodo amat’
“Ngapain nyari Pandu? Mau bikin ulah lagi?” Tanya Brenda,
teman sekelas Pandu dengan nada skeptis.
“Sorry ya, bukan urusan kamu.” Sahut Rana membuat Brenda
semakin Keki.
“Mana Pandu?” Tanya Rana akhirnya.
“Bilang dulu mau apa!” Sergah Brenda.
“Hyaduh, Lama ya, Minggir!” Seru Rana pada Brenda yang
menghalangi jalannya.
“Minggir. Minggir. Emang ini jalan nenekmu??” Brenda
melotot.
“Anyway, ini juga bukan jalan nenekmu kelleus.” Balas Rana. Brenda mengerang sebal. Belum pernah ada anak di sekolah
ini yang berani menyentaknya.
“Mau cari gara-gara sama aku?” Brenda menggulung lengan
seragamnya, siap untuk mencekik Rana.
“Aku nyari Pandu, bukan nyari gara-gara.” Sungut Rana
mulai kesal. Dia mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari Brenda, anak
perempuan itu cukup merepotkannya. Namun, tubuhnya oleng saat kerah belakangnya
terasa ditarik.
“Aaaaaak!!” teriak Rana, namun tubuhnya ternyata tidak
sampai lantai. Dia melirik Pandu yang memegangi punggungnya. “Ah sial”
“Kamu beruntung kali”. Sahut Pandu terkekeh sambil
membantu Rana berdiri tegak. Rana menatap Pandu dan Brenda bergantian sama
sebalnya. “Ada apa nyari? Kangen ya?” Ledek Pandu. Mata Rana spontan melotot.
“Idih, GR gila.” Rana berkacak pinggang.
“Terus, apa?” Tanya Pandu. Brenda yang masih berada di
antara Pandu dan Rana menatap bingung.
“Mau...eemm..mau...eemm...” seketika mulut Rana kelu. Dia
menggaruk-garuk dahinya.
“Mau nggak ndu jadi pacarku?” dengan wajah Jahil Pandu
menatap Rana, Rana melotot. Wajah jahil itu berubah sok melankolis, “Tapi Sorry
ya Ran, Ak...”
Bruuugh!
Belum selesai Pandu bicara, Rana sudah menendang tulang
kering Pandu dengan sepatu boots-nya. Salah sendiri ngomong sembarangan.
“Sorry ya Ndu, bikin kecewa. Aku nggak akan ngomong gitu.
Aku Cuma mau bilang makasih buat kemarin,” Cerocos Rana, Pandu masih memeluk
kakinya yang ngilu. “Bye!”
Rana segera pergi dari sana sambil mengipas-ngipas
wajahnya dengan tangan, karena tiba-tiba udara berubah panas. Entah karena dia
gugup atau karena tatapan anak-anak lain ke arahnya. (bersambung)
Comments
Post a Comment